Rabu, 22 Agustus 2012

Memaknai Hari Raya Idul fitri dan Kesalehan Sosial

Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.” Untaian kalimat itu yang paling banyak terdengar ketika momentum Idul Fitri. Alhamdulillah, Lebaran telah tiba dan proses halal bihalal sudah berlangsung.

Bagi kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar perayaan ritual semata. Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian menjadi momentum yang berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri, sebagaimana diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam lahir ‘kembali’ seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.

Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.

Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti “baikâ”.  Dalam pengertian kedua, kata “halal” terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.

Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).

Halal bihalal juga bisa dimaknai secara sosial. Aktivitas ibadah puasa sebulan penuh selama Ramadan selalu mendorong seorang hamba selalu melakukan ibadah. ibadah tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Selama Ramadan, Umat Islam pun dididik untuk selalu beribadah horisontal (muamalah). Karena itu, selama Ramadan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Untuk menambah keyakinan kita, ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar. Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.

Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.”

Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.

Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.

Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”

Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.

Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”

Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”

Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.

Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani rakyat.

Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.

Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.

Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.

Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi kepada keshalihan sosial.
Sumber: repulika

Rabu, 01 Agustus 2012

Kisah Pengantin Baru

Pasangan muda baru menikah menempati rumah di sebuah komplek perumahan. Suatu pagi, sewaktu sedang sarapan, si istri melalui jendela kaca, ia melihat tetangganya sedang menjemur pakaian. " cucianya terlihat kurang bersih ya" kata sang istri..,"sepertinya dia tidak bisa mencuci pakaian dengan benar. mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus." Suami menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun. Sejak hari ini setiap tetangga menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya. seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia pun berseru kepada suaminya " lihat sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar, siapa ya kira-kira yang mengajarinya?" Sang suami pun berkata,:" saya bengun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca rumah kita." Dan begitulah kehidupan. Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran(jendela) lewat mana kita memandangnya.. Jika hati kita bersih, maka insyalloh bersih pula pikiran kita. Jika pikiran kita bersih, maka bersih pula perkataan kita. Jika perkataan kita bersih(baik), maka bersih ( baik) pula perbuatan kita. Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan hidup kita. Jika hidup kita ingin berkembang maka kita harus menjaga hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita karena itu kuncinya. HATI menentukan PIKIRAN.. PIKIRAN menentukan PERKATAAN & PERBUATAN

JUJUR KARENA ALLAH, DITERIMA KERJA(dari Yusuf Mansur network)

Ada seorang pria berkebangsaan Eropa yang telah memeluk Islam. Dia adalah seorang muslim yang baik Islamnya, jujur dalam tindakannya dan bersemangat untuk menampakkan keIslamannya. Dia bangga dengan Islamnya di hadapan orang-orang kafir. Tidak ada perasaan minder, malu atau perasaan ragu. Bahkan, tanpa ada kesempatan terlewatkan dia selalu bersemangat untuk menampakkan keIslaman itu. Suatu saat dia bercerita bahwa ada sebuah iklan lowongan kerja di sebuah instansi pemerintah yang kafir. Pria muslim yang bangga dengan Islamnya ini mengajukan lamaran untuk mendapat pekerjaan tersebut. Tentunya dia harus menjalani test wawancara. Selain dia banyak juga orang-orang yang ikut test ini. Saat tiba gilirannya untuk test wawancara, panitia khusus instansi ini mengajukan kepadanya beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaan itu adalah, 'Apakah Anda minum-minuman keras?', dia jawab, 'Tidak, saya tidak mengkonsumsi minuman keras karena saya orang Islam dan agama saya melarangnya'. Mereka bertanya lagi, 'Apakah Anda memiliki teman kencan dan pacar?', dia jawab, 'Tidak, karena agama Islam yang saya peluk ini telah mengharamkannya. Saya hanya berhubungan dengan isteri yang telah saya nikahi sesuai dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala'. Wawancara telah usai. Dia keluar dari ruang test, tetapi dia pesimis akan berhasil dalam persaingan ini. Ternyata di luar dugaan hasil akhir menyebutkan, semua pelamar yang jumlahnya banyak itu gagal, hanya dialah satu-satunya yang berhasil diterima. Kemudian dia pergi menemui ketua panitia test itu dan mengatakan, 'Tadinya, saya menunggu pernyataan tidak diterima untuk pekerjaan ini, sebagai balasan atas perbedaan agama antara saya dan Anda, juga karena saya memeluk Islam. Saya terkejut bisa diterima untuk bergabung dengan rekan-rekan kristen di sini. Apa rahasia di balik itu?'. Ketua panitia menjawab, 'Sebenarnya orang yang dicalonkan untuk pekerjaan ini, syaratnya harus orang yang selalu cekatan dan perhatian penuh dalam setiap keadaan, juga tidak teler. Sementara, orang yang mengkonsumi minuman keras tidak mungkin bisa demikian. Kami memang mencari orang yang tidak mengkonsumsi minuman keras, dan Anda terpilih untuk pekerjaan ini karena Anda memenuhi syarat'. Maka keluarlah dia dari ruangan seraya memuji dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah melimpahkan untuknya nikmat yang begitu besar sambil membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah jadikan untuknya jalan keluar." (Ath-Thalaq: 2) Taqwa yang dicari dalam Romadhon ini, menjaga perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan batesannya gak itu saja tetapi meneladani mereka yang paling sukses menjalankan Agama, yaitunya Para Nabi dan Shahabatnya, bukan orang lain baik skup besar dan kecil. Kisah diatas sicalon pegawai dalam jiwanya nilai-nilai Islamlah yang mendominasi dari semua motif dunia, nafsu dalam benaknya, makanya enteng gak kebeban. Dalam puasapun yang kita jalanin, ada yang ngejalanin ngedumel, dan gak serius. Padahal Ramadhan dituntut serius memperbanyak amal shaleh, memanfaatkan waktu, merubah diri, hingga diluar Ramadhan ia ikut berubah baik kehidupannya lahir dan bathin.