Bagaimana bila ukuran kebahagiaan itu adalah ketika kita mampu berbagi kebahagiaan?
Ada sebuah kisah, Gyono, adalah siswa kelas dua SMA di California, senang mengganggu orang lain.
Ada saja yang dia lakukan, dari permen karet yang ditaruh di bangku
kelas sampai papan tulis yang ia pindahkan sehingga gurunya kebingungan
mencari papan tulis! Dan masih banyak lagi.
Kelakuan Gyono juga terkadang menjurus pada tindakan kriminal. Pernah ia
kedapatan membocorkan rem mobil kawannya hingga celaka. Padahal,
kawannya itu tidak mempunyai kesalahan pada Gyono. Walhasil, Gyono diciduk
aparat keamanan. Tapi setelah bebas, ia tidak ada kapok- kapoknya.
Kelakuan nakal Gyono baru berhenti setelah ada siswi rekan kelasnya yang
menembak mulutnya. Sekarang Gyono tidak bisa tertawa menyeringai lagi
sebab sudah mati!
Kebahagiaan
di mata Gyono adalah ketika ia melihat orang lain tidak bahagia! Dia
senang melihat orang marah ketika ia ganggu. Tandanya ia berhasil, la
baru tidak bahagia kalau orang yang dia ganggu justru tersenyum
kepadanya, la baru tidak senang ketika orang yang dia jahili tetap baik
kepadanya.(dasar Gyono suka merampas kebahagian orang lain)
Sekarang
bagaimana dengan Anda? Apakah Anda bahagia melihat orang lain tidak
bahagia? Apakah Anda bahagia bila Anda tahu bahwa kebahagiaan Anda itu
menari-nari di atas penderitaan orang lain? Apakah Anda masih tetap
senang bila sementara itu Anda tahu bahwa ada yang menangis disebabkan
oleh cara Anda meraih kesenangan? Anda sendirilah yang tahu jawabannya.
Syukur-syukur
kalau Anda bisa tidak bahagia kalau ada orang di sekeliling Anda juga
tidak bahagia. Lebih bersyukur lagi, bila Anda mampu membuat orang di
sekeliling Anda bahagia.
Pernah
dituliskan kisah Effendi di salah satu buku Wisata Hati. Effendi, seorang
eksekutif muda di kawasan Sudirman yang sudah memiliki segalanya, karier
yang bagus, rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, dan anak yang lucu.
Namun, ia masih merasa ada yang kurang dalam kehidupannya. Kehampaan
sering terjadi seperti sebuah kekosongan batin.
Dikisahkan suatu hari ketika ia sedang melakukan lari pagi, ia bertemu seorang ibu yang sedang menangis.
“Secara "fitrah"-Nya, Dia selalu berkenan memberkahi kehidupan kita.”
Biasanya ia tidak mau peduli. Tapi kali itu ada kekuatan lain yang memaksanya menyapa sang ibu.
"Kenapa Ibu menangis?" tanyanya.
Rupanya,
si ibu tersebut baru saja dipecat dari tempat kerjanya. Padahal, di
hadapannya terbentang beragam kesusahan—anaknya yang sakit, suaminya
yang juga sakit, hingga ketiadaan makanan dan uang.
Effendi
tergerak membantu. Diantarnya ibu tersebut pulang, diberinya uang
secukupnya. Sementara itu, anak dan suaminya dibawa ke dokter terdekat.
Hari
itu, Allah Sang Pemilik kebahagiaan rupanya senang melihat apa yang
dilakukan Effendi. Hari itu, Effendi merasakan satu kebahagiaan yang
segera melengkapi kebahagiaan yang ia rasa kurang. Ternyata, selama ini
kekurangannya itu adalah ia jarang membantu orang. Jarang mau berbagi
kebahagiaan.
Saudara,
Allah Pemilik kebahagiaan tentu senang kalau melihat kita bisa bahagia.
Karena "kebahagiaan-Nya" adalah ketika melihat kita bahagia. Dan lagi
kehadiran-Nya adalah agar kita mampu merasakan kebahagiaan. Tapi, Dia
juga tidak akan senang kalau kemudian kita menikmati kebahagiaan dalam
kesendirian alias tidak mau berbagi. Apalagi kalau kebahagiaan itu kita
dapatkan dengan merugikan orang lain.
Dan ketahuilah, Allah teramat kuasa untuk membuat kita tidak bahagia, meskipun ketika kita seharusnya menjadi
orang yang berbahagia menurut kebanyakan orang. Artinya, Dia hilangkan rasa kebahagiaan di hati kita, di kehidupan kita.
Terus,
yang patut diketahui, secara "fitrah"-Nya, Dia selalu berkenan
memberkahi kehidupan kita. Agar apa? Agar kita juga berkenan menjadi
berkah untuk sesama. Dia ingin kita menjadi senang dengan hanya
menghadirkan kesenangan-kesenangan, agar kita juga bisa menyenangkan
orang lain. Dia ingin kita berhasil, kaya, dan makmur, agar kita bisa
meneteskan aliran rezeki-Nya untuk sesama. Tapi Dia akan mencabut
berkah-Nya, manakala tujuan pemberian berkah dari-Nya tidak tercapai.
Dia akan cabut anugerah kekayaan dan kemakmuran, manakala tujuan Dia
memberikan kekayaan dan kemakmuran pada kita tidak kita laksanakan.
Jangan sampai kebahagiaan kita tukar dengan penderitaan dan kesedihan.
sumber:ustazt Yusuf Mansur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar