“Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.” Untaian
kalimat itu yang paling banyak terdengar ketika momentum Idul Fitri.
Alhamdulillah, Lebaran telah tiba dan proses halal bihalal sudah
berlangsung.
Bagi kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar
perayaan ritual semata. Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada
kesucian, atau kembali ke asal kejadian menjadi momentum yang
berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri, sebagaimana diambil
dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam lahir
‘kembali’ seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan
kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.
Budaya
saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini
adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di
negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang
menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih
sayang.
Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti
'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan
dari kata haram. Kedua, berarti “baikâ”. Dalam pengertian kedua, kata
“halal” terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.
Dalam
pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan
pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat
Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu
hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan
bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi
iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk
dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung
ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).
Halal bihalal juga bisa
dimaknai secara sosial. Aktivitas ibadah puasa sebulan penuh selama
Ramadan selalu mendorong seorang hamba selalu melakukan ibadah. ibadah
tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Selama
Ramadan, Umat Islam pun dididik untuk selalu beribadah horisontal
(muamalah). Karena itu, selama Ramadan, Umat Islam dilatih untuk selalu
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika
keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri,
disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong.
Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan
pribadi dengan keshalihan sosial.
Untuk menambah keyakinan kita,
ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar. Dikisahkan, pada suatu
malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota.
Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah
yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya.
Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena
kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar
bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena
kelaparan.”
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di
atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak. Apa yang
sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang
tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu
itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan
berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”
Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat
itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada
Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk
mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di
kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang
kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar
ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak
pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum
untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.
Kisah itu menggambarkan
betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat
jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga
diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual
seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani
rakyat.
Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita
berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab
masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas
berpenduduk Islam.
Kita juga berharap, ketika kita benar-benar
menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat,
khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan
berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap
kondisi sosial.
Sebagai manifestasi kesalehan individual dan
sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi
kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang
egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu
menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.
Nilai-nilai
muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti
alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia
tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada
kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan
pribadi kepada keshalihan sosial.
Sumber: repulika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar