Sabtu, 07 Juli 2012

Ukuran Kebahagiaan

Bagaimana bila ukuran kebahagiaan itu adalah ketika kita mampu berbagi kebahagiaan?
Ada sebuah kisah, Gyono, adalah siswa kelas dua SMA di California, senang mengganggu orang lain. Ada saja yang dia lakukan, dari permen karet yang ditaruh di bangku kelas sampai papan tulis yang ia pindahkan sehingga gurunya kebingungan mencari papan tulis! Dan masih banyak lagi.
Kelakuan Gyono juga terkadang menjurus pada tindakan kriminal. Pernah ia kedapatan membocorkan rem mobil kawannya hingga celaka. Padahal, kawannya itu tidak mempunyai kesalahan pada Gyono. Walhasil, Gyono diciduk aparat keamanan. Tapi setelah bebas, ia tidak ada kapok- kapoknya. Kelakuan nakal Gyono baru berhenti setelah ada siswi rekan kelasnya yang menembak mulutnya. Sekarang Gyono tidak bisa tertawa menyeringai lagi sebab sudah mati!
Kebahagiaan di mata Gyono adalah ketika ia melihat orang lain tidak bahagia! Dia senang melihat orang marah ketika ia ganggu. Tandanya ia berhasil, la baru tidak bahagia kalau orang yang dia ganggu justru tersenyum kepadanya, la baru tidak senang ketika orang yang dia jahili tetap baik kepa­danya.(dasar Gyono suka merampas kebahagian orang lain)
Sekarang bagaimana dengan Anda? Apakah Anda baha­gia melihat orang lain tidak bahagia? Apakah Anda bahagia bila Anda tahu bahwa kebahagiaan Anda itu menari-nari di atas penderitaan orang lain? Apakah Anda masih tetap senang bila sementara itu Anda tahu bahwa ada yang menangis disebabkan oleh cara Anda meraih kesenangan? Anda sendirilah yang tahu jawabannya.
Syukur-syukur kalau Anda bisa tidak bahagia kalau ada orang di sekeliling Anda juga tidak bahagia. Lebih bersyukur lagi, bila Anda mampu membuat orang di sekeliling Anda bahagia.
Pernah dituliskan kisah Effendi di salah satu buku Wisata Hati. Effendi, seorang eksekutif muda di kawasan Sudirman yang sudah memiliki segalanya, karier yang bagus, rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, dan anak yang lucu. Namun, ia masih merasa ada yang kurang dalam kehidupannya. Kehampaan sering terjadi seperti sebuah kekosongan batin.
Dikisahkan suatu hari ketika ia sedang melakukan lari pagi, ia bertemu seorang ibu yang sedang menangis.
Secara "fitrah"-Nya, Dia selalu berkenan memberkahi kehidupan kita.”
Biasanya ia tidak mau peduli. Tapi kali itu ada kekuatan lain yang memaksanya menyapa sang ibu.
"Kenapa Ibu menangis?" tanyanya.
Rupanya, si ibu tersebut baru saja dipecat dari tempat kerjanya. Padahal, di hadapannya terbentang beragam kesusahan—anaknya yang sakit, suaminya yang juga sakit, hingga ketiadaan makanan dan uang.
Effendi tergerak membantu. Diantarnya ibu tersebut pulang, diberinya uang secukupnya. Sementara itu, anak dan suaminya dibawa ke dokter terdekat.
Hari itu, Allah Sang Pemilik kebahagiaan rupanya senang melihat apa yang dilakukan Effendi. Hari itu, Effendi merasa­kan satu kebahagiaan yang segera melengkapi kebahagia­an yang ia rasa kurang. Ternyata, selama ini kekurangannya itu adalah ia jarang membantu orang. Jarang mau berbagi kebahagiaan.
Saudara, Allah Pemilik kebahagiaan tentu senang kalau melihat kita bisa bahagia. Karena "kebahagiaan-Nya" adalah ketika melihat kita bahagia. Dan lagi kehadiran-Nya adalah agar kita mampu merasakan kebahagiaan. Tapi, Dia juga ti­dak akan senang kalau kemudian kita menikmati kebaha­giaan dalam kesendirian alias tidak mau berbagi. Apalagi kalau kebahagiaan itu kita dapatkan dengan merugikan orang lain.
Dan ketahuilah, Allah teramat kuasa untuk membuat kita tidak bahagia, meskipun ketika kita seharusnya menjadi
orang yang berbahagia menurut kebanyakan orang. Artinya, Dia hilangkan rasa kebahagiaan di hati kita, di kehidupan kita.
Terus, yang patut diketahui, secara "fitrah"-Nya, Dia selalu berkenan memberkahi kehidupan kita. Agar apa? Agar kita juga berkenan menjadi berkah untuk sesama. Dia ingin kita menjadi senang dengan hanya menghadirkan kesenangan-kesenangan, agar kita juga bisa menyenangkan orang lain. Dia ingin kita berhasil, kaya, dan makmur, agar kita bisa meneteskan aliran rezeki-Nya untuk sesama. Tapi Dia akan mencabut berkah-Nya, manakala tujuan pembe­rian berkah dari-Nya tidak tercapai. Dia akan cabut anugerah kekayaan dan kemakmuran, manakala tujuan Dia memberi­kan kekayaan dan kemakmuran pada kita tidak kita laksana­kan.
Jangan sampai kebahagiaan kita tukar dengan penderitaan dan kesedihan.


sumber:ustazt Yusuf Mansur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar